Jumat, 06 April 2018

Romanticizing Pain

Assalamualaikum, gengs.

Hari senin kemaren, aku baru aja deep sharing bersama teman-teman satu departemen di HMIK. Buat yang belum tau deep sharing itu apa, itu adalah salah satu agenda wajib yang bertujuan untuk lebih mengenal temen kita di satu departemen. Rahasia, masalah, dan masa lalu bakal diungkapkan buttt sesuai yang dikehendaki orang tersebut aja. Ga wajib ngungkapin rahasia yang deepest dan darkest kita punya. Yang penting selesai deep sharing kita jadi lebih sreg dan ga awkward sama temen satu departemen yang aslinya bukan temen sepermainan kita. Of course, sekalian bisa bantu mereka kalo ada masalah dan memang butuh bantuan.

Karena deep sharing diadakannya malem sambil nginep, jadi mungkin orang lebih santai untuk jujur dan terbuka dalam hal-hal pribadi. Salah satu fakta menyebutkan kalau orang yang lelah secara fisik akan lebih jujur. Jadi timing nya yang malem kayaknya emang sengaja deh.

Yang menarik kemaren adalah banyak yang ngomongin tentang pain dan numbness. Ga banyak juga sih, bisa dibilang highlight dari deep sharing. At least for me. Semua orang pasti punya versinya masing-masing kapan dan kayak apa titik terendah dalam hidupnya. Dan itu deals with pain mostly. Aku gabakal cerita pain yang kayak gimana tuch dan segala detailnya karena hal-hal di deep sharing sifatnya confidential. Pembicaraan deep sharing ini masih nempel di otak dan aku puter-puter selama seminggu ini. Pokoknya jadi ga fokus ngampus karena kepikiran terus.

Tadi, pas baru bangun tidur, tiba-tiba terpikir tentang topik pain dan numbness ini. Kemaren pas dibahas, aku ga bisa respon macem-macem karena belum kepikiran dan emang udah ngantuk. Jadi menurutku begini...

Pain itu sebetulnya essential bagi diri kita. Kalo minjem quotes John Green,
"That's the thing about pain. It demands to be felt."
Rasa sakit itu ada untuk mengingatkan kita kalo ada something wrong di tubuh kita. Misal kita kebeset pisau, kalau ada pain, pasti kita langsung cari obat dan kain untuk mengobati lukanya. Bayangkan kalo gaada pain. Kebeset pisau, terus berdarah-darah ga terasa. Darahnya terus mengucur sampai kita kehabisan darah dan meninggal. Atau versi lebih mendingnya, darahnya berhenti, kita ga meninggal, tapi ga diobatin karena ga terasa dan yang ada malah jadi busuk dan borokan.

Menurutku, painless can lead to things that worse than the pain itself. Rasanya memang enak kalau ga merasakan pain. Gaada hal yang men-distract kita, atau menghalangi kita untuk merasa utuh dan bahagia. Tapi dilihat dari jangka panjangnya, itu malah bisa berakibat lebih buruk.

Banyak orang yang menganggap pain itu hal yang lumrah dan akhirnya menjalin hubungan love and hate dengannya. Kadang saat sedang fase love, pain bisa jadi sumber inspirasi berkarya. Saat fase hate, orang bakal drown themselves agar jadi numb atau painless. Aku ga bilang kalau terinspirasi dari pain itu salah atau mencari distraksi itu ga benar. (Selama distraksinya ga menghancurkan dirimu). Tapi kita harus ingat kalo pain itu sebenarnya hanya signal kayak sirine yang dibunyiin titanic atau mobil ambulans. Dia ga seharusnya bertahan selamanya apalagi dipelihara. Dia cuma bertugas ngasih tanda. Selebihnya kita yang harus take action.

Orang yang ingin menjadi numb dari rasa sakit, mungkin dia ga bener-bener ingin numb. It can be translated as "I wanna heal but i don't know how." Kalo dia mengungkapkan ke depan muka orang lain, artinya "I wanna heal but i don't know how. I need help."

Untuk sembuh dari pain itu sendiri, tentunya kita butuh obat. Tapi misalkan kita merasa sakit, di samping kita ada a big rack full of different kind of vaccines, pills, IV, obat sirup dan puyer, tapi kita ga tau kita sakit apa, sama aja sia-sia. Jadi sebelum mengobati, harus tau dulu sumber sakitnya apa dan di mana. Baru bisa ditentukan diobatinya harus pakai cara apa. Numbness itu BUKAN obatnya pain. Itu cuma cara kita menekan pain, have a sense of control, dan experiencing pain in a different way.

Mungkin itulah apa yang aku tangkap seputar pain dan numbness. Awalnya aku mikir orang lain sangat meromantisasi pain sampe ada yang hurt themselves untuk sekadar ngerasain pain karena udah kelamaan (memaksa dirinya untuk) numb. Tapi setelah itu, aku mikir, jangan-jangan aku yang menganggap pain itu significant yang malah meromantisasi rasa sakit. Atau bisa jadi pain itu diciptakan dengan makna dan tujuan yang berbeda, dan mungkin jauh lebih sederhana, dan kita semua hanya meromantisasikannya menurut apa yang kita telah rasakan dan percaya.

Wallahua'lam.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar