Selasa, 23 Januari 2018

Cincin

Pertama kali aku menginginkan cincin adalah saat menonton sebuah acara talk show yang menghadirkan salah satu member girlband Korea. Cara tangannya menutup wajahnya karena tertawa malu terlihat begitu elegan. Pada saat itu perhatianku langsung tertuju pada cincin manis yang ada di jari telunjuk kedua tangannya.

Warnanya perak tanpa ornamen apapun, namun terlihat berkilau dan memberi kesan muda. Ditambah jari-jarinya pun cantik dan lentik. Cincin jenis apapun yang ia pakai tentunya akan terlihat indah, tetapi aku jatuh cinta dengan cincin yang sedang dipakainya. Aku bertanya-tanya apakah mama mau membelikannya untukku.

Aku sudah beberapa kali membiacarakan seputar cincin kepada mama. Hal itu menjadi pembukaan sebelum meminta dibelikan. Aku juga mengingatkan mama kalau dulu ia dibelikan cincin pada saat kuliah. Momen yang pas denganku yang baru menyelesaikan semester pertama kuliah. Setelah berulang kali mengode, akhirnya mama seperti memberi lampu hijau. Ia menyetujui untuk membelikanku cincin jika ada uang lebih.

Aku dan keluargaku sedang berjalan-jalan ke mall, sesuatu yang menjadi rutinitas akhir minggu kami. Selagi menunggu adikku potong rambut, aku dan mama memutuskan pergi ke toko lain. Ada toko emas yang terletak tepat di depan barber shop. Aku tidak bisa tidak memikirkan cincin yang kuinginkan.

Kami hampir selesai melewati toko emas. Tiba-tiba, mama bertanya padaku jika aku ingin melihat-lihat cincin. Ternyata mama dari tadi juga memerhatikan cincin-cincin di toko itu. Tawarannya membuatku ragu sejenak. Aku mempertimbangkan lagi apakah ini waktu yang tepat untuk membeli cincin. Bagaimana jika sebetulnya uang mama pas-pasan? Tetapi, katanya tadi “melihat-lihat” kan?. Tidak apa-apa berarti.

Toko emas itu lumayan kecil dengan dekorasi serba putih. Aku melihat di rak kacanya tersedia pilihan yang terbatas. Mataku langsung mencari cincin emas putih yang kiranya paling mirip dengan yang kulihat di TV. Mama melakukan hal yang sama karena sudah tahu persis apa yang aku inginkan. Tidak menemukan cincin yang menarik, mama melihat-lihat cincin yang berwarna mas kuning.

Ia menunjuk salah satu dan meminta mbak penjaga toko mengeluarkannya untuk dicoba. Yang kupikirkan pertama kali adalah cincin ini sama sekali tidak mirip, jadi otomatis aku tidak suka. Untung, saat kucoba, cincin itu kebesaran. Mataku mencoba menyisir barisan cincin. Ada dua yang terlihat simpel dan manis.

Seolah dapat membaca pikiranku, mama menunjuknya. Aku pun mencobanya di jari telunjukku. Kebesaran. Cincin yang satunya memiliki desain yang sama persis tetapi dengan ukuran yang lebih kecil. Dan pas di jari telunjukku. “Kakak mau?” Tanya mama. Aku ingin menolak karena warnanya bukan putih. Namun, tatapan mbak penjaga toko sedikit mengintimidasi dan aku sebetulnya suka saja dengan model cincinnya. Akhirnya aku mengiyakan.

Cincin itu langsung kupakai. Beberapa kali kucoba ke jari-jari yang lain untuk memastikan kalu ini pas dan tidak membuatku menyesal telah memilihnya. Selagi berjalan, mataku terus terarah ke cincin yang baru itu. Benar-benar polos tanpa ornamen. Warnanya mengilap karena memantulkan cahaya. Bagian pinggir cincin, bukannya bulat, tetapi sedikit bersudut. Seperti apel yang sedikit dikupas kulitnya.

Aku merasa cicin ini tepat berada di jari telunjukku. Tetapi setelah diperhatikan lebih lama, ini sama sekali tidak seperti yang kubayangkan.  Cincinnya memang manis, namun tanganku tidak. Jari-jariku pendek dan pangkalnya gemuk. Mama menyebutnya mirip pisang susu. Memang terlihat lucu, tetapi sangat jauh dari jari-jari lentik yang ada di TV. Aku menyadari bahwa tidak akan mungkin tanganku terlihat seperti itu sebelum jari-jariku menjadi lebih langsing. Meskipun aku sangat sering mengetik di HP ataupun laptop.

Menempatkan cincin di jari telunjuk tangan kanan mengingatkan akan jariku yang gemuk. Dibutuhkan kepercayaan diri yang lebih untuk mempertahankannya. Kuputuskan untuk memindahkan cincin itu ke jari tengah di tangan kiri. Terlihat lebih normal walaupun sekilas mirip cincin pernikahan.

Terkadang, saat tidak sedang melakukan sesuatu, aku memainkan cincinnya. Kupindahkan ke jari-jari lain dengan harapan terlihat indah sekarang. Kadang juga aku memutar cincin di jariku sambil melamun. Lama-lama, memainkan cincin dan berharap jariku bisa lebih indah menyadarkanku bahwa hal tersebut sia-sia saja. Waktuku bisa digunakan untuk hal yang lebih baik, bahkan produktif.

Setiap kali aku sadar sedang memainkan cincin, aku langsung kembali ke kenyataan dan teringat untuk memulai melakukan sesuatu. Apapun yang lebih bermanfaat dari melamun. Memainkan cincin menjadi awal kegiatan baikku. Aku mulai menulis lagi, salah satu hobi yang sudah kutinggalkan sejak lama. Cincin ini pada akhirnya beralih fungsi dari sekadar hiasan menjadi sesuatu yang lebih baik daripada itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar