Pertama
kali aku menginginkan cincin adalah saat menonton sebuah acara talk show yang menghadirkan salah satu
member girlband Korea. Cara tangannya
menutup wajahnya karena tertawa malu terlihat begitu elegan. Pada saat itu
perhatianku langsung tertuju pada cincin manis yang ada di jari telunjuk kedua
tangannya.
Warnanya
perak tanpa ornamen apapun, namun terlihat berkilau dan memberi kesan muda.
Ditambah jari-jarinya pun cantik dan lentik. Cincin jenis apapun yang ia pakai
tentunya akan terlihat indah, tetapi aku jatuh cinta dengan cincin yang sedang
dipakainya. Aku bertanya-tanya apakah mama mau membelikannya untukku.
Aku
sudah beberapa kali membiacarakan seputar cincin kepada mama. Hal itu menjadi pembukaan
sebelum meminta dibelikan. Aku juga mengingatkan mama kalau dulu ia dibelikan
cincin pada saat kuliah. Momen yang pas denganku yang baru menyelesaikan
semester pertama kuliah. Setelah berulang kali mengode, akhirnya mama seperti
memberi lampu hijau. Ia menyetujui untuk membelikanku cincin jika ada uang
lebih.
Aku
dan keluargaku sedang berjalan-jalan ke mall, sesuatu yang menjadi rutinitas
akhir minggu kami. Selagi menunggu adikku potong rambut, aku dan mama memutuskan
pergi ke toko lain. Ada toko emas yang terletak tepat di depan barber shop. Aku
tidak bisa tidak memikirkan cincin yang kuinginkan.
Kami
hampir selesai melewati toko emas. Tiba-tiba, mama bertanya padaku jika aku
ingin melihat-lihat cincin. Ternyata mama dari tadi juga memerhatikan
cincin-cincin di toko itu. Tawarannya membuatku ragu sejenak. Aku
mempertimbangkan lagi apakah ini waktu yang tepat untuk membeli cincin.
Bagaimana jika sebetulnya uang mama pas-pasan? Tetapi, katanya tadi
“melihat-lihat” kan?. Tidak apa-apa berarti.
Toko
emas itu lumayan kecil dengan dekorasi serba putih. Aku melihat di rak kacanya
tersedia pilihan yang terbatas. Mataku langsung mencari cincin emas putih yang
kiranya paling mirip dengan yang kulihat di TV. Mama melakukan hal yang sama
karena sudah tahu persis apa yang aku inginkan. Tidak menemukan cincin yang
menarik, mama melihat-lihat cincin yang berwarna mas kuning.
Ia
menunjuk salah satu dan meminta mbak penjaga toko mengeluarkannya untuk dicoba.
Yang kupikirkan pertama kali adalah cincin ini sama sekali tidak mirip, jadi
otomatis aku tidak suka. Untung, saat kucoba, cincin itu kebesaran. Mataku mencoba
menyisir barisan cincin. Ada dua yang terlihat simpel dan manis.
Seolah
dapat membaca pikiranku, mama menunjuknya. Aku pun mencobanya di jari
telunjukku. Kebesaran. Cincin yang satunya memiliki desain yang sama persis
tetapi dengan ukuran yang lebih kecil. Dan pas di jari telunjukku. “Kakak mau?”
Tanya mama. Aku ingin menolak karena warnanya bukan putih. Namun, tatapan mbak
penjaga toko sedikit mengintimidasi dan aku sebetulnya suka saja dengan model
cincinnya. Akhirnya aku mengiyakan.
Cincin
itu langsung kupakai. Beberapa kali kucoba ke jari-jari yang lain untuk
memastikan kalu ini pas dan tidak membuatku menyesal telah memilihnya. Selagi
berjalan, mataku terus terarah ke cincin yang baru itu. Benar-benar polos tanpa
ornamen. Warnanya mengilap karena memantulkan cahaya. Bagian pinggir cincin,
bukannya bulat, tetapi sedikit bersudut. Seperti apel yang sedikit dikupas
kulitnya.
Aku
merasa cicin ini tepat berada di jari telunjukku. Tetapi setelah diperhatikan
lebih lama, ini sama sekali tidak seperti yang kubayangkan. Cincinnya memang manis, namun tanganku tidak.
Jari-jariku pendek dan pangkalnya gemuk. Mama menyebutnya mirip pisang susu.
Memang terlihat lucu, tetapi sangat jauh dari jari-jari lentik yang ada di TV.
Aku menyadari bahwa tidak akan mungkin tanganku terlihat seperti itu sebelum
jari-jariku menjadi lebih langsing. Meskipun aku sangat sering mengetik di HP
ataupun laptop.
Menempatkan
cincin di jari telunjuk tangan kanan mengingatkan akan jariku yang gemuk.
Dibutuhkan kepercayaan diri yang lebih untuk mempertahankannya. Kuputuskan
untuk memindahkan cincin itu ke jari tengah di tangan kiri. Terlihat lebih
normal walaupun sekilas mirip cincin pernikahan.
Terkadang,
saat tidak sedang melakukan sesuatu, aku memainkan cincinnya. Kupindahkan ke
jari-jari lain dengan harapan terlihat indah sekarang. Kadang juga aku memutar
cincin di jariku sambil melamun. Lama-lama, memainkan cincin dan berharap
jariku bisa lebih indah menyadarkanku bahwa hal tersebut sia-sia saja. Waktuku
bisa digunakan untuk hal yang lebih baik, bahkan produktif.
Setiap
kali aku sadar sedang memainkan cincin, aku langsung kembali ke kenyataan dan
teringat untuk memulai melakukan sesuatu. Apapun yang lebih bermanfaat dari
melamun. Memainkan cincin menjadi awal kegiatan baikku. Aku mulai menulis lagi,
salah satu hobi yang sudah kutinggalkan sejak lama. Cincin ini pada akhirnya
beralih fungsi dari sekadar hiasan menjadi sesuatu yang lebih baik daripada
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar