Kamis, 27 Februari 2014

Proses Pembuatan Film "Si Kaya dan Si Miskin" (part 2)

Hari Sabtu.

Lokasi shooting dimulai dari rumahnya Dea yang gede. Karena kita sama sekali belum punya pengalaman membuat film, bingung harus mulai shooting adegan yang mana. Ditambah lagi kita ga pake naskah. Pembuatan naskah kita terputus ditengah jalan karena deadline alias idenya baru muncul sehari sebelumnya. Diskusi yang berubah acara jadi prosesi foto bersama terus berlanjut sampe tengah hari. Perut-perut kelaparan ber-kruyuk di sana dan di sini.

Dea mengusulkan untuk singgah ke Ind*maret terdekat untuk mengisi perut masing-masing. Mungkin aktris dan aktor Hollywood selalu jaga pola makan mereka dengan ketat. Sampe ada katanya kena penyakit eating disorder.  Apa enaknya hidup kayak begitu? Punya banyak duit kok ga bisa kenyang-_-. Bagi kita perut adalah salah satu hal yang utama.


Kebetulan banget tokoh Aini (yang diperankan oleh aktris peraih nominasi Oscar, Kania) ada adegan mencuri di tempat tersebut. Kita jalan segerombolan sambil jalan kaki di bawah sengatan dingin sinar matahari. Ternyata perjalanannya lumayan menguras tenaga. Sesampainya di lokasi, kita langsung sprint ke kulkas minuman dingin. Tak lupa dibayar di kasir terlebih dahulu baru dinikmati kesegarannya.

Aini
Dahaga telah ditangani. Sekarang waktunya fokus ke tujuan utama. Shooting adegan Aini mencuri. Ceritanya si Aini lagi kehausan dan berjalan menuju Ind*maret. Padahal dia ga punya cukup uang untuk sebotol Pulp* *range. Lalu minuman tersebut diselundupkan ke kantong seragam biru-putihnya. Tolong jangan sekali-kali meniru adegan tersebut. Terutama di kehidupan nyata.

Pertama, kita butuh izin untuk shooting di sini. Kita saling nunjuk satu sama lain buat perwakilan. Karena ga ada yang mau, akhirnya Nisa sang pemberani maju dengan inisiatif sendiri menuju meja mbak-mbak kasir.

“Mbak, kita minta izin mau numpang shooting di sini. Sebentar doang kok.” Kata Nisa dengan senyum manis sebagai pelengkap.

Mbak-mbaknya bales tersenyum. Pertanda baik. “Oh, iya. Boleh, boleh.”

Untungnya kalimat si Mbak cuma berhenti sampai di situ. Ga ada penandatanganan kontrak dan biaya lokasi dan lain-lain.


Aqila, Dila, dan Aini
Kania diatur untuk masuk dari pintu. Nisa menyesuaikan sudut dan fokus lensa yang sesuai. Kita yang sisanya nonton di belakang Nisa. Nisa ngasih aba-aba. The first one and exclusive shoot akan dimulai.

“Satu.. dua.. tiga..”


Kania berjalan masuk dengan gaya santai dengan berpasang-pasang mata pengunjung lain ngeliatin  pengen tau. Saat Kania hampir sampe ke rak minuman, Nisa ngasih kode stop. Lalu kita semua langsung ngerubungin kamera dengan mata berbinar-binar. Video pertama woy! Kita ngeliat hasil shoot-nya bareng-bareng. Karena Kania berjalan dari pintu yang berada di arah kiri menuju rak di arah kanan, otomatis kamera juga bergerak mengikuti Kania. Ga sengaja salah satu lengan kita yang nonton dibelakan Nisa ke shoot. Kalo ga salah lengan tersebut milik Meka *asal nuduh padahal mah udah lupa*. Video tersebut dianggap gagal dan harus mulai dari awal lagi. Akhirnya kita yang lagi ga di shoot harus sembunyi di belakang rak sabun dan sikat gigi. Kita ngobrol dan ngemil sambil nunggu.

Shoot adegan itu diulang hampir lima kali atau bahkan lebih. Ada yang salah Kania karena senyam-senyum, ada juga salah kita karena cekikikannya kedengeran sampe kamera. Aku liat mbak-mbak kasirnya berusaha nahan senyum sambil pura-pura ga liat kamera dan Kania. Setelah semua usai dan memuaskan, kita pamit undur diri dan bilang makasih ke si Mbak. Kita juga ga lupa menyertakan Ind*maret di bagian credit film kelak.

Perjuangan Kania ternyata belum berhenti sampai di sini. Kita butuh adegan di mana Kania berjalan masuk ke Ind*maret yang di shoot dari luar. Masa ujug-ujug Kania udah ada di dalem situ? Kan jadi tidak nyambung. Walaupun Kania keliatan udah capek, tapi rasa lelah ga akan membiarkan kita ngumpulin sebuah video Kania mencuri minuman ke Bu Ratna.
Dengan pengalaman yang ada, shoot kali ini lebih mudah. Cukup tiga kali shoot. Butuh keberanian tinggi untuk menjalani adegan seperti itu. Kita ga punya modal untuk menyewa stunt-women. Alhasil Kania harus ikhlas sepenuh hati. Lalu Kania mengungkapkan isi hatinya.


Aini, Dila, Mona (yg ceritanya lg ngambek wk), & Aqila
“Ih, dari tadi gue malu banget sumpah. Udah adegannya nyuri lagi diliatin banyak orang. Terus masa pas gue jalan masuk ke Ind*maret sambil celingak-celinguk diketawain sama abang gorengan. Nyebelin banget, ih.”

Setiap kesuksesan dimulai dari pengorbanan. Kania telah berkorban diliatin dan diketawain. Itu tandanya film ini akan meraih kesuksesan. Kira-kira itulah teoriku. Semoga aja memang bener adanya.

Shooting pun berlanjut ke adegan yang mengikutsertakan Dea sebagai Dila (aktris peraih Golden Globe), Naura sebagai Aqila (aktris peraih BAFTA Award), dan Meka sebagai Mona (aktris peraih Piala Citra. Beserta tujuh Grammy Award)  sampe sore hari. Adeganku dan Nisa ga ada sama sekali. Kita sama-sama berperan jadi ibu-ibu. Akan shooting di hari selanjutnya di rumah Meka.

Hari Minggu.

Mama Aqila
Kita sempet terkagum-kagum dulu sama rumah Meka yang ternyata begitu gede dan dalemnya juga bagus. Tapi adeganku ceritanya jadi orang miskin. Lokasinya bertempat di ruang setrika mbaknya Meka. Sebaliknya, Nisa sama Naura berperan jadi orang kaya yang menggunakan lokasi di lantai dua. Satu rumah bisa menggambarkan dua keadaan yang berbeda.

Nisa dan Naura jago akting. Ga butuh waktu lama sampe adegan mereka selesai. Langsung dilanjut adeganku. Aku nunggu di luar. Nisa ngasih aba-aba dari dalem. Aku udah latihan di rumah, seharusnya ini gampang karena aku cuma ngucapin empat kalimat. Ini bocorannya:

“Apa, Nak.”; “Ibu lagi ga punya uang.”; “Sekarang Ibu lagi berusaha. Kalo Ibu punya uang pasti Ibu beliin.”; “Sekarang kamu makan aja dulu yang ada.”

Nisa ngasih aba-aba dan aku masuk ke dalem. Ternyata akting depan kamera dan nggak rasanya beda banget. Bikin deg-degan dan keringet dingin. Shoot pertama gagal. Pas bagian aku seharusnya ngomong malah hening. Tiba-tiba blank seketika. Adeganku yang ada di film udah yang terbaik dari yang lainnya. Sampe sekarang itu satu-satunya adegan yang aku ga sanggup nonton tanpa tutup telinga dan tutup mata. Aktingku paling aneh. Tapi kalo kata yang lainnya diri mereka masing-masing yang aktingnya paling aneh. Kita sama-sama berakting aneh. Seenggaknya kita bahagia.

Hari pemutaran film.

Video-video yang udah ada baru disatukan di sekolah pada hari itu dengan laptop Kania. Butuh proses lumayan panjang, seperti loading, cut, dan edit sana-sini. Judulnya baru ditentukan di detik-detik terakhir. Kita berekspektasi filmnya akan diberi judul yang bagus. Tapi Bu Ratna keburu manggil kelompok kita. Akhirnya dipilihlah judul yang sederhana tapi bersahaja sepeti filmnya, yaitu “Si Kaya dan Si Miskin”.

Alhamdulillah, responnya bagus dari Bu Ratna dan temen-temen. Walaupun dibanding film yang diputer di bioskop standarnya masih jauuuh banget, tapi kita punya pengalaman yang seru dan ga terlupakan. Kelompok lain juga begitu. Semua film temanya berbeda dan kreatif. Ada yang judulnya “Cinderella”, “Paper”, dan “Hemofilia”. Semoga ini bukan kali pertama dan terakhir bikin film bareng temen-temen.

Hari Jumat.

Hari Jumat berjalan sama seperti Hari Jumat sebelumnya dan mungkin sama seperti Hari Jumat yang akan datang. Kecuali keputriannya. Setelah solat Dzuhur, kita keputrian yang bertema.. aku lupa apa. Mungkin tentang hubungan kepada keluarga dan teman. Tiba-tiba tanpa pemberitahuan atau petunjuk dari siapa pun, film kita diputer. Aku dan temen-temen kaget. Kita yang terlibat pada tutup telinga dan nunduk serendah-rendahnya. Rasanya lebih malu dari syuting di Ind*maret karena ga kenal siapa-siapa. Sedangkan ini ditonton anak kelas 7, kelas 8, kakak kelas 9, dan ibu guru.

Setelah selesai diputer yang rasanya nambah satu jam dari durasi aslinya yang cuma sepuluh menit. Semua tepuk tangan. Yang tambah mengejutkannya lagi, kita disuruh maju. Di depan para penonton yang heboh ngomentarin sambil ngomong ke kanan kiri, kita disuruh ceritain proses pembuatannya. Ga ada yang mau apalagi mengajukan diri sendiri. Mik berakhir di tangan Nisa sang Pemberani. Temen-temen yang lain pada berusaha sembunyi di belakang punggung yang lain karena malu. Tapi aku nggak. Mungkin karena udah ga punya rasa malu *eh-_-*. Nisa berusaha minta bantuan untuk jawab sambil nyenggol aku. Aku tetep berdiri sambil senyum lebar. Speechless. Rasanya luar biasa. Ditepuk tanganin begitu banyak orang. Bangga banget. Mungkin menang Oscar rasanya mirip-mirip kayak gini :D 


Aini dan a? ku (mukanya nggak bangetlah)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar