Satu lagi tugas dari Pa Adi,
yaitu cerita tentang pengalaman selama di sekolah. Lumayan bingung juga mau
cerita apa habisnya kan banyak banget kenangan-kenangan bersama 789Abstraw
*aseek*. Pas liat-liat ke blog tetangga, rata-rata pada cerita pengalaman AMT
ke Bantargebang atau pengalaman EOP ke Pare. Karena ingin beda dan tidak mainstream, aku mau cerita
tentang pengalaman bikin film pertama bareng Nisa, Naura, Kania, Meka, dan Dea.
Buat referensi sedikit,
cita-citaku adalah Filmmaker. Rasanya seneng banget pas dikasih tugas ini.
Seperti melarikan diri dari tugas, pr, dan ulangan yang tidak berujung. Dan
dari awal saat Bu Ratna ngumumin, aku udah punya feeling this is gonna be great *aseek*.
Ceritapun berlanjut ke pembagian
kelompok. Semua orang bebas memilih anggota kelompoknya dan bebas menjadi
anggota kelompok yang mana. Syaratnya maksimal 6 orang. Ada kelompok yang
langsung terbentuk hanya dalam hitungan menit, ada juga yang mengumpulkan
anggotanya lebih perlahan, dan aku cuma nunggu siapa yang bakal merekrut aku
jadi anggotanya. Ternyata tidak ada satu kelompokpun.
Pertama nanya ke Shenia, “Eh
Shen, kamu udah dapet kelompok?”
“Udah, bareng Ossa, Arini, Nurul,
dll.” Shenia langsung pergi dan nimbrung ke kelompoknya untuk ngomongin
macem-macem. Aku ngeliatin dari jauh kayaknya obrolan mereka seru banget.
Kedua nanya ke Farah. Pas aku
lagi jalan ke meja Farah, tiba-tiba Fika bilang “Farah udah dapet kelompok?
Sama kita aja yuk.” Farah langsung meng-oke-kan. Aku merasa jleb. Tapi siapa tau anggotanya belum
genap 6 kan?
“Far, kamu kelompoknya sama siapa
aja?”
“Fika... ga tau lagi, Raf.
Pokoknya udah berenam.”
“Oh, oke.”
Waduh.. ini nasibku gimana??
Padahal aku udah punya feeling this is gonna be great kok ujungnya jadi
gini. Membuktikan apa yang mamaku katakan bahwa kalau kita membatin dalam hati
yang ga baik atau punya perasaan sombong memang berbahaya. Astagfirullah.
Aku berjalan males-malesan
kembali ke bangku. Apapun hasil filmnya
nanti, jelek ataupun bagus, ga apa-apa deh yang penting dapet kelompok.
Ternyata Allah mendengar doaku. Meka nengok ke belakang.
“Raf, udah dapet kelompok?”
“Belom nih, Me. Kamu?”
“Belom juga, Raf. Yaudah kita sekelompok
aja yuk. Kalo kamu mau sih..”
“Aku mau! Ayo kita sekelompok!”
YES!
Aku teringat sesuatu, “Me, kita
sekelompok sama siapa aja?”
“Baru berdua..”
Aku lupa kalo kami senasib. Ga apa-apalah berdua daripada sendiri.
Alhamdulillah.
Sambil liat kanan-kiri siapa
kira-kira yang bisa diajak sekelompok, Meka cerita kalau dia paling ga suka
sama kerja kelompok. Bukannya dia egois atau ga seneng bersosialisasi, tapi
kadang orang-orang kayak kami, yang bukan tipe terang-terangan dan heboh,
cenderung masuk kelompok yang sisa tanpa bisa milih mau sekelompok sama siapa.
Bener juga sih kata-kata Meka,
tapi sebelumnya aku ga pernah punya pemikiran seperti itu. Tapi aku seneng bisa denger curhatan Meka. Kita saling
menyemangati satu sama lain kalo ga semua tugas harus berkelompok. Dan di saat
itu kita janjian kalo ada tugas berkelompok lagi, kita selalu sedia untuk
menjadi satu tim.
Kembali ke cerita awal, akhirnya
Nisa ngajak kita sekelompok bersama Naura, Kania, dan Dea. Formasi yang lumayan
unik karena karakteristik kita sangat berbeda-beda. Saat kelompok kita kumpul,
untungnya ga terbentuk atmosfer canggung sama sekali. Kita ngobrol dan bercanda
satu sama lain dan hampir lupa sama tugasnya. Pas ada yang nanya apa tema film
kita, semua langsung diem. Hening yang lumayan panjang. Menjadikan obrolan tadi
ga berbekas sama sekali. Ga tau lagi berpikir atau nggak, aku curiga kalo yang
lain diem menunggu siapa yang bakal angkat bicara duluan. Karena aku begitu.
Apa yang terlintas di kepala
langsung aku sampaikan. Ceritanya lumayan mirip sinetron. Seorang anak yang
tuli punya ibu yang selalu pilih kasih dan lebih sayang sama adek si tokoh
utama. Kelanjutannya lebih mendayu-dayu lagi sampe aku ga sanggup nyeritain di
sini. Respon temen-temen berbeda-beda. Ada yang setuju, ada yang
manggut-manggut penuh perhitungan, ada juga yang ekspresinya masih tetep sama
sejak keheningan sebelumnya.
Karena yang lain beralasan lagi
mentok, akhirnya ideku dipilih. Setelah beberapa hari ngumpul dan ngobrol,
ide itu ga berkembang. Semangat kami makin lama juga mulai luntur. Sementara
beberapa kelompok lain udah mulai shooting. Hari shooting kamipun juga udah
ditentukan yaitu jatuh pada hari Sabtu. Walaupun ga ada yang yakin shooting-nya
harus jadi apa dan bagaimana. Aku bener-bener mentok.
Setiap solat aku sempetin berdoa
buat kelancaran filmnya. Entah masa depannya seperti apa, yang penting di buku
nilai Bu Ratna nilai kita ga kosong. Dan semoga sih nilainya kalo bisa bagus.
*banyak maunya-_-*
Dua hari sebelum shooting, aku
was-was. Rasanya hari Sabtu cepet lewat aja kek. Aku ngebayangin wajah
temen-temen yang bakal kecewa. Weh.. tapi
jangan putus asa ah. Coba cari inspirasi lain. Tanya orang lain.
Aku coba tanya mama, “Ma,
kira-kira cerita yang bagus buat jadi film pendek apa ya?”
“Apa ya,” Mikir sebentar. “ga tau
deh.” Sebuah jawaban yang tidak diharapkan.
“Ayo dong, ma. Aku hari Sabtu
harus shooting dan ga punya ide sama sekali. Cerita apa aja. Yang inspirasional
gitu..”
“Ah! Cerita dari Ustad Yusuf
Mansur aja.”
Mama cerita kisah nyata dari
Ustad Yusuf Mansur tentang kenalannya. Aku dengerin sambil harap-harap cemas. Ceritanya menarik,
sederhana, dan ternyata bagian akhirnya ga terduga. Kalo di film biasanya
disebut twist-ending. Rasanya kayak dapet pencerahan. Semangatku mulai kembali
lagi.
Besoknya temen-temen yang giliran
denger ceritanya dari aku. Pas aku selesai cerita, matanya Nisa berbinar-binar
dan yang lain tersenyum.
“Ih ceritanya bagus. sederhana tapi ga ketebak
sama sekali! Keren, Raf, keren..” kata Nisa.
Hanya butuh beberapa menit bagi
kami untuk menyesuaikan antara cerita aslinya dengan rencana film. Tokoh dan
alur ceritanya diubah tanpa menghilangkan bagian yang tak terduganya. Semua keliatan
seneng dan semangat lagi. Kami siap shooting.
Besok. Hari Sabtu. Izin ga eskur.
Di rumah Dea.
bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar