Rabu, 26 Februari 2014

Proses Pembuatan Film "Si Kaya dan Si Miskin" (part 1)


Bismillahirrahmanirrahiim

Satu lagi tugas dari Pa Adi, yaitu cerita tentang pengalaman selama di sekolah. Lumayan bingung juga mau cerita apa habisnya kan banyak banget kenangan-kenangan bersama 789Abstraw *aseek*. Pas liat-liat ke blog tetangga, rata-rata pada cerita pengalaman AMT ke Bantargebang atau pengalaman EOP ke Pare. Karena ingin beda dan tidak mainstream, aku mau cerita tentang pengalaman bikin film pertama bareng Nisa, Naura, Kania, Meka, dan Dea.

Buat referensi sedikit, cita-citaku adalah Filmmaker. Rasanya seneng banget pas dikasih tugas ini. Seperti melarikan diri dari tugas, pr, dan ulangan yang tidak berujung. Dan dari awal saat Bu Ratna ngumumin, aku udah punya feeling this is gonna be great *aseek*.

Ceritapun berlanjut ke pembagian kelompok. Semua orang bebas memilih anggota kelompoknya dan bebas menjadi anggota kelompok yang mana. Syaratnya maksimal 6 orang. Ada kelompok yang langsung terbentuk hanya dalam hitungan menit, ada juga yang mengumpulkan anggotanya lebih perlahan, dan aku cuma nunggu siapa yang bakal merekrut aku jadi anggotanya. Ternyata tidak ada satu kelompokpun.

Akhirnya aku bangkit untuk mencari sendiri kelompok yang mau menerimaku.

Pertama nanya ke Shenia, “Eh Shen, kamu udah dapet kelompok?”

“Udah, bareng Ossa, Arini, Nurul, dll.” Shenia langsung pergi dan nimbrung ke kelompoknya untuk ngomongin macem-macem. Aku ngeliatin dari jauh kayaknya obrolan mereka seru banget.

Kedua nanya ke Farah. Pas aku lagi jalan ke meja Farah, tiba-tiba Fika bilang “Farah udah dapet kelompok? Sama kita aja yuk.” Farah langsung meng-oke-kan. Aku merasa jleb. Tapi siapa tau anggotanya belum genap 6 kan?

“Far, kamu kelompoknya sama siapa aja?”

“Fika... ga tau lagi, Raf. Pokoknya udah berenam.”

“Oh, oke.”

Waduh.. ini nasibku gimana??

Padahal aku udah punya feeling this is gonna be great kok ujungnya jadi gini. Membuktikan apa yang mamaku katakan bahwa kalau kita membatin dalam hati yang ga baik atau punya perasaan sombong memang berbahaya. Astagfirullah.


Aku berjalan males-malesan kembali ke bangku. Apapun hasil filmnya nanti, jelek ataupun bagus, ga apa-apa deh yang penting dapet kelompok. Ternyata Allah mendengar doaku. Meka nengok ke belakang.

“Raf, udah dapet kelompok?”


“Belom nih, Me. Kamu?”

“Belom juga, Raf. Yaudah kita sekelompok aja yuk. Kalo kamu mau sih..”

“Aku mau! Ayo kita sekelompok!”

YES!

Aku teringat sesuatu, “Me, kita sekelompok sama siapa aja?”

“Baru berdua..”

Aku lupa kalo kami senasib. Ga apa-apalah berdua daripada sendiri. Alhamdulillah.

Sambil liat kanan-kiri siapa kira-kira yang bisa diajak sekelompok, Meka cerita kalau dia paling ga suka sama kerja kelompok. Bukannya dia egois atau ga seneng bersosialisasi, tapi kadang orang-orang kayak kami, yang bukan tipe terang-terangan dan heboh, cenderung masuk kelompok yang sisa tanpa bisa milih mau sekelompok sama siapa.

Bener juga sih kata-kata Meka, tapi sebelumnya aku ga pernah punya pemikiran seperti itu. Tapi aku seneng bisa denger curhatan Meka. Kita saling menyemangati satu sama lain kalo ga semua tugas harus berkelompok. Dan di saat itu kita janjian kalo ada tugas berkelompok lagi, kita selalu sedia untuk menjadi satu tim.

Kembali ke cerita awal, akhirnya Nisa ngajak kita sekelompok bersama Naura, Kania, dan Dea. Formasi yang lumayan unik karena karakteristik kita sangat berbeda-beda. Saat kelompok kita kumpul, untungnya ga terbentuk atmosfer canggung sama sekali. Kita ngobrol dan bercanda satu sama lain dan hampir lupa sama tugasnya. Pas ada yang nanya apa tema film kita, semua langsung diem. Hening yang lumayan panjang. Menjadikan obrolan tadi ga berbekas sama sekali. Ga tau lagi berpikir atau nggak, aku curiga kalo yang lain diem menunggu siapa yang bakal angkat bicara duluan. Karena aku begitu.

Apa yang terlintas di kepala langsung aku sampaikan. Ceritanya lumayan mirip sinetron. Seorang anak yang tuli punya ibu yang selalu pilih kasih dan lebih sayang sama adek si tokoh utama. Kelanjutannya lebih mendayu-dayu lagi sampe aku ga sanggup nyeritain di sini. Respon temen-temen berbeda-beda. Ada yang setuju, ada yang manggut-manggut penuh perhitungan, ada juga yang ekspresinya masih tetep sama sejak keheningan sebelumnya.

Karena yang lain beralasan lagi mentok, akhirnya ideku dipilih. Setelah beberapa hari ngumpul dan ngobrol, ide itu ga berkembang. Semangat kami makin lama juga mulai luntur. Sementara beberapa kelompok lain udah mulai shooting. Hari shooting kamipun juga udah ditentukan yaitu jatuh pada hari Sabtu. Walaupun ga ada yang yakin shooting-nya harus jadi apa dan bagaimana. Aku bener-bener mentok.

Setiap solat aku sempetin berdoa buat kelancaran filmnya. Entah masa depannya seperti apa, yang penting di buku nilai Bu Ratna nilai kita ga kosong. Dan semoga sih nilainya kalo bisa bagus. *banyak maunya-_-*

Dua hari sebelum shooting, aku was-was. Rasanya hari Sabtu cepet lewat aja kek. Aku ngebayangin wajah temen-temen yang bakal kecewa. Weh.. tapi jangan putus asa ah. Coba cari inspirasi lain. Tanya orang lain.

Aku coba tanya mama, “Ma, kira-kira cerita yang bagus buat jadi film pendek apa ya?”

“Apa ya,” Mikir sebentar. “ga tau deh.” Sebuah jawaban yang tidak diharapkan.

“Ayo dong, ma. Aku hari Sabtu harus shooting dan ga punya ide sama sekali. Cerita apa aja. Yang inspirasional gitu..”

“Ah! Cerita dari Ustad Yusuf Mansur aja.”

Mama cerita kisah nyata dari Ustad Yusuf Mansur tentang kenalannya. Aku  dengerin sambil harap-harap cemas. Ceritanya menarik, sederhana, dan ternyata bagian akhirnya ga terduga. Kalo di film biasanya disebut twist-ending. Rasanya kayak dapet pencerahan. Semangatku mulai kembali lagi.

Besoknya temen-temen yang giliran denger ceritanya dari aku. Pas aku selesai cerita, matanya Nisa berbinar-binar dan yang lain tersenyum.

“Ih ceritanya bagus. sederhana tapi ga ketebak sama sekali! Keren, Raf, keren..” kata Nisa.

Hanya butuh beberapa menit bagi kami untuk menyesuaikan antara cerita aslinya dengan rencana film. Tokoh dan alur ceritanya diubah tanpa menghilangkan bagian yang tak terduganya. Semua keliatan seneng dan semangat lagi. Kami siap shooting.
Besok. Hari Sabtu. Izin ga eskur. Di rumah Dea.

bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar